Usaha-usaha mengatasi kegelisahan
Usaha-Usaha Mengatasi Kegelisahan
Mengatasi kegelisahan ini pertama-tama hams mulai dari diri kita sendiri, yaitu kita hams bersikap tenang. Dengan sikap tenang kita dapat berpikir tenang, sehingga segala kesulitan dapat kita atasi.
Cara lain yang mungkin
juga baik untuk digunakan dalam mengatasi kegelisahan atau kecemasan yaitu
dengan memerlukan sedikit pemikiran; pertama-tama, kita tanyakan kepada diri
kita sendiri (introspeksi), akibat yang paling buruk yang bagaimanakah yang
akan kita tanggung atau yang akan terjadi, mengapa hal itu terjadi, apa
penyebabnya dan sebagainya. Apabila kita dapat menganalisa akibat yang akan
ditimbulkan oleh kecemasan tersebut dan bila kita tidak dapat mengatasinya,
kita dapat mempersiapkan diri untuk menghadapinya, karena tidak semua
pengalaman di dunia ini menyenangkan. Yang kedua kita bersedia menerima
akibatnya dengan rasa tabah dan senang hati niscaya kecemasan tersebut akan
sima dalam jiwa kita. Dan yang ketiga, dengan bersama-sama berjalannya waktu
kita dapat mencoba untuk memperkecil dan mengurangi keburukan-keburukan akibat
timbulnya kecemasan, dengan demikian kita akan tidak merasakan lagi adanya
krasa kecemasan / kegelisahan dalam jiwa kita.
Untuk mengatasi
kegelisahan yang paling ampuh kita memasrahkan diri kepada Tuhan. Kita
pasrahkan nasib kita sepenuhnya kepada-Nya. kita hams percaya bahwa Tuhanlah
Maha Kuasa, Matra Pengasih, Maha penyayang dan Maha Pengampun.
Artikel
Tentang Pendidikan yang Memprihatinkan
SLAMET EFFENDY YUSUF
Tampaknya
kegelisahan penyelenggaraan pendidikan nasional mendorong Prof Dr Soedijarto
MA, seorang pakar ilmu pendidikan yang puluhan tahun teguh dan istiqomah
concern pada bidang pendidikan, untuk terus berpikir mencari apa yang salah
dengan sistem pendidikan nasional kita sekaligus berupaya mencari format yang
paling ideal.
Buku
ini merupakan kumpulan tulisan dan makalah disajikan dalam berbagai seminar
mengenai kondisi pendidikan nasional. Buku dibuka dengan keprihatinan
penulisnya betapa bangsa ini sangat jauh tertinggal dari bangsa lain. Dalam
kondisi bangsa yang sering dilanda konflik, yang secara ekonomi jauh dari maju
dan secara ilmu pengetahuan sangat bergantung pada dunia luar, sulit bagi
Indonesia diperhitungkan dalam percaturan internasional. Bagi Prof Soedijarto,
ketertinggalan ini sangat erat kaitannya dengan kepedulian pada bidang
pendidikan. Terpuruknya kondisi negara-bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan
dari kondisi pendidikan nasional.
Semua
negara yang kemudian menjadi negara maju, seperti Amerika Serikat, Jerman,
Jepang, disusul Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, dan China, merupakan
negara-negara yang memulai pembangunan dengan menempatkan sektor pendidikan
sebagai prioritas utama. Amerika Serikat sejak Thomas Jefferson, Jerman sejak
Otto von Bismarck, Britania Raya sejak King Arthur, Jepang sejak zaman Meiji.
Negara maju adalah negara yang peduli pada pendidikan. Lebih lanjut ia
berpendapat, belum cerdasnya kehidupan bangsa, belum majunya kebudayaan
nasional, dan belum sejahteranya kehidupan rakyat, akarnya adalah masih
rendahnya kualitas manusia.
Membaca
uraian dan analisis Prof Soedijarto sungguh menyenangkan. Permasalahan
pendidikan bangsa dipaparkan secara gamblang dengan bahasa yang mudah dipahami.
Beragam topik yang dikupas dalam buku ini mencerminkan luasnya pengetahuan
penulis. Kedalaman pembahasan tentu hanya dapat dicapai oleh seorang pengamat,
pemerhati, pencinta, sekaligus pelaku pendidikan seperti dia. Penulis menelusup
masuk ke hal-hal yang sifatnya sangat praktis, seperti karut-marutnya metode
pembelajaran, salah kaprah pemaknaan ujian nasional sebagai mekanisme evaluasi
pendidikan nasional; bahkan memasuki wilayah yang politis seperti memaparkan
benang merah antara kegagalan sistem pendidikan nasional dan minimnya alokasi
anggaran pendidikan.
Buku
ini dibagi dalam lima bagian yang tematis. Pada bagian pertama, banyak
diuraikan pokok-pokok pikirannya mengenai landasan dan visi pendidikan
nasional. Landasan dan visi pendidikan nasional jelas tertulis dalam UUD 1945,
yaitu Pancasila sebagai filsafat dasar dalam penyelenggaraan pendidikan
nasional dan arahan pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Keluaran pendidikan yang diharapkan adalah lahirnya manusia-manusia Indonesia
yang berkarakter, yaitu yang cerdas, religius, patriotik, humanis, dan memiliki
rasa keadilan sosial yang tinggi.
Selanjutnya
arahan pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa menohok pada
pendidikan sebagai gerakan transformasi budaya Indonesia dari tradisional dan
feodalistik menjadi budaya modern, rasional, demokratis, dan berorientasi
kepada ilmu pengetahuan.
Sayang
alih-alih mencerdaskan kehidupan bangsa, output dari sistem pendidikan yang
dirancang dan diselenggarakan negara ini justru menimbulkan masalah dalam
masyarakat. Beberapa kasus-kasus yang merugikan negara dan masyarakat seperti
tindakan korupsi justru sering melibatkan orang-orang cerdas di negeri ini. Ini
artinya pendidikan nasional sangat jauh dari landasan serta arahan yang
diinginkan.
Bagian
kedua dari buku ini banyak membahas mengenai kurikulum, sistem evaluasi, tenaga
pendidik, dan metode pengajaran yang ideal dan sesuai dengan landasan serta
arahan pendidikan nasional. Secara umum, kemampuan sistem pendidikan nasional suatu
negara dalam menghasilkan output yang dapat mendukung lahirnya negara-bangsa
yang kuat adalah mutu pendidikan yang tercermin pada proses transformasi ilmu
di dalamnya. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mencakup dimensi
nalar/akal, nilai, dan sikap.
Di
Indonesia, yang menjadi perhatian penuh pemerintah adalah dimensi nalar/akal
yang belum tentu berdampak pada pengembangan kemampuan intelektual, kematangan
pribadi, serta kematangan moral dan karakter. Akibatnya yang terjadi adalah
pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, tetapi sedikit sekali
memberikan tempat pada nilai-nilai humanistik dan hati nurani.
Transformasi ilmu
Kelebihan
buku ini terletak pada kemampuan memotret pentingnya ketiga dimensi tersebut
dalam proses transformasi ilmu. Dalam Planning Instruction for Adult Learner,
Patricia Canton menuliskan bahwa pendidikan yang ideal, yang berbasis pada
perspektif orang dewasa, merupakan proses pendidikan yang berbasis tiga hal,
yaitu cognitive domain, affective domain, dan psycomotor domain.
Indonesia
selama ini belum dirancang dan diselenggarakan sebagai pusat pembudayaan segala
kemampuan, nilai dan sikap manusia modern, melainkan hanya diposisikan sebagai
tempat mendengar, mencatat, dan menghafal. Pendidikan yang seperti ini dinilai
tidak mampu membantu peserta didik mencapai tingkatan kepribadian yang mantap
dan mandiri. Seharusnya proses pembelajaran memungkinkan peserta didik
menguasai cara memperoleh pengetahuan, berkesempatan menerapkan pengetahuan
yang dipelajarinya dan berkesempatan berinteraksi secara aktif sehingga dapat
menemukan dirinya.
Model
pembelajaran seperti ini hanya dapat berlangsung dengan tenaga guru yang
memadai, materi yang terpilih dan waktu yang cukup tanpa harus mengejar target
ujian nasional. Evaluasi pendidikan yang berupa evaluasi hasil belajar seperti
UAN tidak dapat diharapkan akan mencapai tujuan pendidikan nasional. Biasanya
tingkah laku peserta didik akan dipengaruhi oleh materi yang akan diujikan.
Jika yang diujikan adalah penguasaan pengetahuan yang telah dihapal, mereka
hanya akan belajar materi yang akan diujikan. Akibatnya, mereka akan
mengabaikan berbagai kegiatan belajar yang tidak akan diujikan, seperti belajar
mengapresiasikan bakat, belajar berdemokrasi, dan berbagai proses belajar yang bermakna
transformasi budaya.
Bagian
ketiga adalah tulisan- tulisan beliau mengenai peranan perguruan tinggi, baik
negeri maupun swasta, dalam pembangunan bangsa. Bab ini menggambarkan tinjauan
historis kemunculan institusi pendidikan universitas di berbagai negara yang
selanjutnya berperan penting dalam proses pembangunan. Peran ini belum tampak
pada universitas di Indonesia, terutama dalam pemecahan masalah-masalah
nasional maupun internasional. Dalam buku ini disebutkan, penyebab utama
ketidakmampuan universitas sebagai problem solving lagi-lagi terkait dengan
metode pembelajaran.
Bagian
keempat berisikan kumpulan artikel beliau mengenai pendidikan demokrasi yang
dikaitkan dengan peran keluarga dan materi pendidikan. Pada bagian ini, penulis
memaparkan secara apik bagaimana peranan pendidikan dalam sebuah keluarga dalam
membangun negara bangsa yang demokratis.
Bagian
kelima berisi tulisan- tulisan yang mengulas keterkaitan dukungan dana dan
terselenggaranya sistem pendidikan nasional yang dapat mencerdaskan kehidupan
bangsa. Berkaca dari negara-negara di dunia, semua negara maju mengalokasikan
anggaran pendidikan yang memadai. Alokasi anggaran pendidikan Belanda adalah 7
persen dari PDB atau sekitar 37 persen dari APBN, India 5,1 persen dari PDB,
Malaysia 5,2 persen dari PDB, Brunei 4,4 persen dari PDB, Vietnam 2,8 persen
dari PDB, Jepang 7 persen dari PDB, dan Thailand 5 persen dari PDB. Indonesia
merupakan yang terendah, hanya 1,4 persen dari PDB. Sebenarnya ketentuan
tentang pembiayaan pendidikan ini telah tertulis dalam Undang-Undang Dasar.
Namun, dibutuhkan komitmen yang kuat untuk melaksanakannya, menyatukan visi
para founding father dengan tindakan nyata.
Ketika
salah satu ”tuntutan” buku ini agar ketentuan konstitusi mengenai anggaran
pendidikan dipenuhi telah disanggupi oleh pemerintah, akan segera tampak bahwa
perjalanan pendidikan ke depan akan ditentukan oleh konsistensi atas landasan
dan arah pendidikan yang benar sebagaimana inti buku ini.
Dalam
kerangka itu, buku ini menjadi penting untuk dibaca dan dijadikan rujukan.
Slamet Effendy Yusuf Ketua Kaukus Anggota DPR untuk Anggaran Pendidikan Minimal
20 Persen
sumber : http://nasional.kompas.com/read/2008/10/20/02420267/tentang.pendidikan.yang.memprihatinkan
sumber : http://nasional.kompas.com/read/2008/10/20/02420267/tentang.pendidikan.yang.memprihatinkan
KESIMPULAN
Kegelisahan
untuk masyarakat Indonesia saat ini sangatlah besar, mau jadi apa bangsa ini
jika generasi mudanya tidak memiliki pendidikan yang memadai, banyak anak-anak
di daerah yang masih belum bisa sekolah karena keterbatasaan biaya yang semakin
lama semakin mahal. Ini merupakan kegelisahan bagi para pemimipin dan kita
sebagai masyarakatnya. Ini yang menyebabkan Slamet Effendy membuat buku tentang
pendidikan agar pemerintah sudah saatnya sadar akan pendidikan saat ini. Dulu pendidikan
di dapatkan dengan nilai dan hasil kerja otak kita , sekarang pendidikan bisa
di bayar dengan uang, betapa rendahnya para pemimpin yang menangani pendidikan
ini, mereka lebh memilih siswa/siswi yang mempunyai banyak duit dari pada
siswa/siswi yang mempunyai kepintaran yang luar biasa, sampai akhirnya mereka
di bantu oleh perusahaan atau instansi-instansi luar negeri yang membuat mereka
berkerja di luar Negara ini, sehingga mereka lupa akan Negara ini, dan lebih
memilih luar negeri sebagai tempat kerja dan hidup nya, karena menurut mereka
buat apa saya berkerja di Negara ini jikalau para pemerintah tidak
memperdulikan generasi muda yang berbakat, hasilnya adalah orang yang
memerintah Indonesia ini adalah orang-orang yang kotor yang hanya memikirkan
akan kehidupannya sendiri. Maka dari itu, jika kita sebagai generasi muda ingin
membangun Indonesia menjadi yang lebih baik lagi, maka mulai lah dari sekarang
kita bentuk jiwa yang bersih dan benar agar generasi selanjutnya bisa
menjadikan Indonesia menjadi lebih baik lagi.